# Tags
#Kampus

KPAI: 88% Kekerasan Seksual Anak di Sekolah Pelakunya Guru dan Kepala Sekolah

KampusMedan – Jakarta, Herry Wirawan, terdakwa kasus pemerkosaan terhadap 13 santriwati dituntut hukuman mati dan kebiri kimia. Terlepas proses hukum masih berjalan, kasus ini seakan menjadi ‘peluit’ tanda bahaya kekerasan seksual, khususnya pada anak.Faktanya, kasus kekerasan seksual seperti yang Herry lakukan, banyak terjadi di Indonesia. Kekerasan ini bahkan terjadi di ranah pendidikan seperti sekolah dan pesantren.

“Kalau kami pakai data saja, khusus di pendidikan ya. Pada tahun 2021 kemarin, kasusnya ada 18. 88% pelakunya adalah guru, dan 22% adalah kepala sekolah atau setingkatnya. Jadi, ini terus terjadi, gitu ya. Berkali-kali, dan pada tahun 2021 ini banyak sekali kasus di pesantren,” tutur Retno Listyarti, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, di acara e-Life detikcom baru-baru ini.

Relasi kuasa yang timpang menjadi salah satu penyebab utama langgengnya kekerasan seksual pada anak. Anak akan terdesak untuk menuruti figur otoritasnya, bahkan ketika orang tersebut melakukan kekerasan padanya.”Modusnya rata-rata itu satu adalah diiming-imingi. Yang kedua, diancam. Jadi, relasi kuasa yang timpang ini, relasi kuasa guru atau pendidik atau kepala sekolah, atau kepala pesantren ini yang kemudian dimanfaatkan. Dan anak-anak ini nggak berdaya, karena kalau nggak mengikuti, ‘Nanti saya nggak lulus, atau nanti saya dianggap melawan guru,’ dan lain-lain,” jelas Retno.

Kekerasan seksual pada anak ibarat gunung es. Kasus-kasus yang terlapor disinyalir tak sebanding dengan yang terbungkam. Kekerasan seksual dianggap aib, ditambah perundungan dan intimidasi terhadap korban dari masyarakat sebabkan korban dan keluarga enggan melapor.

“Misalnya, ada kasus di satu pesantren. Kan ini polisi masih mendalami proses, lalu sudah naik tuh ke penyidikan. Tapi belum juga menetapkan tersangka. Lalu apa yang terjadi? Empat anak yang melapor itu, yang menjadi korban itu mereka di-bully oleh lingkungannya. Dianggap fitnah, dianggap bohong, dan lain-lain. Nah ini yang sering sekali terjadi, sehingga korban kekerasan seksual itu kerap kali tidak mau melapor. Karena tadi, secara psikologi aja dia butuh penguatan, nah ini belum kuat saja dia mengalami pem-bully-an,” lanjut Retno.

Psikolog klinis anak dan remaja, Irma Gustiana, menyampaikan dalam program e-Life pada Jumat (14/1/2022), tentang bagaimana upaya yang bisa dilakukan orang tua dalam mencegah kekerasan seksual pada anak.

Irma menuturkan keluarga sebagai tempat pertama seorang anak untuk belajar tentang segala hal. Untuk itu, orang tua perlu mengedukasi diri sendiri dan memperbanyak ilmu terkait dengan pendidikan seksualitas sebelum nantinya disampaikan ke anak.

“Keluarga itu kan tempat pertama anak belajar mengenai apapun, dan sebagai orang tua ya perlu selalu mengedukasi diri sendiri juga gitu ya. Memperbanyak keilmuan terkait dengan pengasuhan, termasuk hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana kita mendidik mereka terkait dengan pendidikan seksualitas,” kata Irma.

Pendidikan seksualitas juga harus diberikan sesuai dengan usia anak. Orang tua bisa memulainya dengan mengajarkan kepada anak tentang penamaan alat kelamin laki-laki maupun wanita harus menggunakan nama ilmiah. Selain itu, mengajarkan anak tentang privasi tubuhnya juga penting dilakukan.

“Memang pendidikan seksualitas ini sesuai dengan usianya. Seperti yang sudah disampaikan Bu Retno (Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia), misalnya menamakan alat kelamin sesuai dengan nama ilmiah, itu juga pendidikan seksualitas dan itu bisa dilakukan sejak kecil sekali saat anak sedang belajar mengenai tubuhnya,” jelas Irma.(DTC/MKM)