# Tags
#Kampus

Dr.Eng.Sonita Afrita Purba SSi MSi, Putri Pedagang Kaki Lima Raih S3 di Korea

Banyak orang beranggapan selama ini, hanya keluarga yang punya duitlah yang bisa kuliah ke luar negeri, apalagi untuk meraih gelar doktor. Tapi tidak untuk Sonita Afrita Purba Siboro. Justru kondisi orangtuanya yang hanya pedagang kaki lima di Pasar Horas Siantar-lah menjadi motivasi terbesar baginya untuk mencapai pendidikan setinggi-tingginya. Sebab ia sadar, hanya dengan pendidikan yang lebih baiklah mampu memerangi kemiskinan dan memperbaiki taraf hidup keluarga.

Sejak SD, putri pasangan Wilson Purba Siboro dan Julita Hutauruk ini memang belajar keras. Begitu pulang sekolah, ia pun sibuk ikut belajar di bimbel dan kursus Bahasa Inggris sejak kelas 2 SD. Di usia 8 tahun di era 1998/1999 ia harus naik angkutan umum sendirian dari Senin hingga Jmat dengan jarak tempuh 7 km dari Perumnas Batu 6 ke Jln.Merdeka Siantar.

Dan sore harinya sepulang dari kursus, ia harus berjalan hampir 1 km menghampiri ayahnya yang berdagang di kaki lima Pasar Horas supaya bisa pulang bersama. Malamnya di rumah, ia harus belajar dan mengerjakan tugas sampai malam sebelum tidur. Hasilnya, Sonita sering juara sejak SD hingga SMP. Usai lulus SMP, Sonita masuk ke sekolah unggulan SMAN 1 Plus Matauli Sibolga. Lewat perjuangan yang melelahkan, di semester 2 Sonita terpilih jadi kandidat tim Olimpiade Kimia, dan saat kelas XI terpilih jadi tim inti olimp dan berhasil maju sampai ke tingkat provinsi.

Sonita Afrita Purba SSi MSi beserta ayahnya Wilson Purba Siboro dan ibunya Julita Hutauruk ketika wisuda S2 di ITB Bandung

Tahun 2009, Sonita diterima di beberapa perguruan tinggi negeri. Sonita pun memilih kuliah di Undip (Semarang) dengan mengambil Jurusan Kimia. Lewat kerja keras tentunya, Sonita mendapat beasiswa yang bisa meringankan beban orang tuanya, sehingga tidak berat membayar uang kuliah dan menyelesaikan pendidikan S1-nya dalam waktu 3,5 tahun dengan predikat cumlaude dan terbaik.

Awalnya ia merasa kesulitan memahami bidang studi dasar dan ketinggalan dari temannya seangkatan yang notabene kebanyakan dari Pulau Jawa.”Aku sempat insecure semester awal, tapi aku nggak patah semangat, aku justru bersyukur karena ada di lingkungan yang kualitas pendidikannya di atas kualitas yang selama ini aku dapatkan. Aku mulai belajar mandiri di rumah, coba diskusi dan belajar bersama teman-teman dan kakak kelas. Tidak melewatkan 1 pertemuan pun sepanjang semester. Meski aku bukan urutan IPK tertinggi, aku bisa lulus lebih dulu dari teman-teman seangkatanku, menjadi satu-satunyaa yang lulus 3,5 tahun. Jadi aku yang datang dari kampung dengan kualitas pendidikan SMA yang lebih rendah dibanding yang berdomisili di Pulau Jawa bisa bertahan, bahkan menjadi cumlaude dan terbaik di periode wisuda waktu itu”,tegasnya.

Setelah lulus sidang sarjana tahun 2013, Sonita sudah berkomitmen kepada orang tua untuk tidak meminta biaya apapun lagi kepada mereka. Dan semenjak lulus S1, Sonita langsung ada project riset dengan dosennya, jadi dia punya uang untuk biaya hidup sambil menunggu wisuda, apalagi project risetnya berlanjut hingga beberapa lama waktunya.

“Saat aku wisuda sarjana tahun 2013, itulah pengalaman pertama orang tua ku naik pesawat dan mengunjungi Kota Semarang. Bahkan oppungku ikut waktu itu begitu senangnya ada cucunya yang pertama kali jadi sarjana dari garis keturunannya. Akulah cucu pertama yang lulus sarjana di masa itu”,kenangnya.

Tahun 2013, Sonita pun mencoba daftar beasiswa S2 dalam negeri. Sonita diterima di ITB dan dibiayai full oleh Kemenristek Dikti (mencakup uang kuliah, biaya hidup, biaya administrasi dan tiket PP). Meski dia mendapat beasiswa full, Sonita merasa perlu punya tabungan dan membantu orang tua membiayai uang kuliah adiknya, jadi Sonita sambil mengajar di bimbingan belajar mengajarkan pelajaran Kimia sambil kuliah S2. Selama dua tahun Sonita membagi waktu antara kuliah dan bekerja, dan akhirnya Sonita menyelesaikan pendidikan S2 selama 2 tahun dan mendapat predikat cumlaude tahun 2015.

Setelah lulus S2, Sonita bekerja di jajaran manajerial di sebuah Bimbel di Bandung yaitu Prosus Inten, sambil memikirkan langkah berikutnya. Sonita punya kerinduan untuk membantu anak-anak mewujudkan mimpinya masuk ke perguruan tinggi negeri, maka sejak tahun 2013 Sonita memutuskan untuk bergabung dengan lembaga bimbel dan persiapan khusus masuk PTN.

Dr.Eng.Sonita Afrita Purba SSi MSi bersama suami di depan Kampusnya di Korea Selatan

Awalnya Sonita tak pernah berpikir kuliah S3 ke luar negeri. Sonita bahkan mendapatkan beasiswa full untuk pendidikan dan biaya hidup di Korea Selatan dari program pemerintah setempat bernama Brain Korea 21 (BK21), mulai Spring Semester Maret 2018, setelah beberapa lama sebelumnya dilamarnya. Tentu tantangan di tahap S3 jauh berbeda dengan 2 tahapan sebelumnya, karena di tahap ini dituntut harus menghasilkan riset yang masih novel (punya kebaruan) dan ada target capaian publikasi internasional.

“Ditambah lagi, aku harus menyesuaikan hidup di negeri orang dan seluruh bahan pembelajaran literatur dan diskusi riset berbahasa asing. Di semester awal lagi-lagi aku insecure , merasa diri tidak sanggup untuk jalani semuanya, apalagi bidang riset tempatku bergabung totally berbeda dgn bidangku saat S2. Jadi aku awam dengan bidang riset S3 ku ini, Jurusan Teknik Sintesis Polimer. Juga, dihantui dengan target harus berhasil mempublikasikan secara internasional satu artikel ilmiah (read: paper terindeks scopus, Q1) sebelum lulus. Sungguh tak menyangka, karena aku tak menyerah, aku bahkan berhasil menyelesaikan pendidikan S3 dengan durasi paling singkat untuk jenjang S3 yaitu kurang dari 3 tahun, Fall Semester Desember 2020, tapi karena wisuda Februari 2021, dihitung kurang lebih 3 tahun lah. Dan tidak hanya berhasil menyelesaikan pendidikan S3 selama 3 tahun, aku juga berhasil jauh melebihi target publikasi, aku mempublikasi 6 paper internasional yang terindeks scopus dan semua Q1. Again, praise the Lord, I am blessed”,tuturnya.

Istri Poltak Sahala Sipayung yang menikah 14 Agustus 2020 lalu ini, sadar bahwa kalau dilihat dari latar belakang keluarga, amat tidak menyangka dia bisa dapat meraih semua gelar seperti saat ini sebelum usia 30 tahun.

Lulus S1 usia 22 tahun, lulus S2 usia 24 tahun dan lulus S3 usia 29 tahun. “Tapi Tuhan sangat baik dan menunjukkan kebaikanNya nyata atas kerja keras dan perjuangan orang tuaku yang bisa aku lihat, yang akhirnya membuatku semangat pantang menyerah. Kesulitan, tantangan bahkan cibiran orang-orang atas mimpiku yang menurut mereka terlalu tinggi untuk putri seorang pedagang kaki lima, tidak menyurutkan tekadku. Karena aku percaya bahwa lahir boleh dimana saja, tapi lokasi mimpi harus di langit”,ujarnya.

Setelah menyelesaikan pendidikan S3, Sonita juga masih punya kerinduan yang sama membantu para generasi muda untuk masuk ke PTN, sehingga ketika diminta kembali oleh manajemen maka ia kembali bergabung di Lembaga Prosus Inten Bandung, yang saat ini sudah aktif melalui pengajaran online.

Ditanya motivasi utamanya belajar keras, Sonita mengatakan ada dua alasan. Pertama, orang tua yang begitu gigih memperjuangkan kebutuhan anak-anaknya terutama dalam hal pendidikan, maka Sonita bertekad untuk tidak main-main dalam hal belajar.”Kedua, semakin saya dewasa saya menyadari satu hal penting bahwa pendidikan yang baik bisa memerangi kemiskinan (keluargaku), artinya untuk memperbaiki taraf hidup”,pungkasnya.

Kepada generasi muda, Sonita menitip pesan. “Jangan pernah takut bermimpi, teruslah berjuang untuk menjadi lebih baik dan Tuhan akan mengerjakan bagianNya dengan sempurna. Aku bisa, kamu pun pasti bisa, jangan menyerah”,pungkasnya. (RED/MBB)